Tuesday, June 24, 2014

KERAJAAN TANJUNG PURA II SUKADANA

KERAJAAN TANJUNG PURA II SUKADANA

pada 21hb Mac 2014 pukul 3.51 ptg

KERAJAAN TANJUNG PURA II SUKADANA


Tengku Akil Dipertuansyah, Raja Sukadana Baru/Nieuw Broesseol

Tengku Akil dari Siak adalah nama yang tak asing di kampoengku di Kab. Kayong Utara, Kalbar, terutama bagi masyarakat Sukadana, terlebih lagi kalangan Bangsawan Sukadana yang bergelar Tengku.
Tengku Akil Siak adalah Anak Raja Siak yang dibawa Belanda untuk mengisi kekosongan pemerintahan Sukadana yang telah ditinggalkan mundur oleh Pemerintahan Raja Sukadana-Tanjungpura, karena terdesak oleh sebab akibat seringnya peperangan seperti perang dengan Kerajaan Landak karena berebut pusaka Intan Kobi, pernah diserang Mataram yang kemudian menawan Panembahan Ratu Air Mala, diserang Inggris, diserang Pontianak untuk melumpuhkan pelabuhannya, sering dirompak Lanun dan kemudian Belanda.
Penerus Kerajaan Sukadana-Tanjungpura ini berpindah ke Sungai Matan (sekarang Kecamatan Simpang Hilir-KKU). Namun, ekspansi Belanda ke wilayah Kerajaan Matan terus berlanjut, pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Jamaluddin tahun 1822 datang rombongan komisi Belanda yang dipimpin oleh C. Muller, untuk menduduki Sukadana dan menuntut hak atas Pulau Karimata. Di dalam rombongan inilah ikut serta Tengku Akil. Pada akhirnya Matan Tanjungpurapun terpecah menjadi Kerajaan Simpang-Matan (yang terakhir di Teluk Melano-Kayong Utara) dan Kayong-Matan (yang terakhir di Muliakerta-Ketapang).
Yang masih perlu ditelusuri tentang Tengku Akil ini adalah Dalam catatan orang Sukadana dikatakan bahwa Tengku Akil sebagai cucu Raja/Sultan Yahya, sengaja dibawa Belanda yang bermaksud menggantikan kedudukan Raja di Sukadana yang telah kosong. Tengku Akil akhirnya dapat menduduki dan memerintah Sukadana bergelar Raja Tengku Akil Dipertuansyah (1827). Sukadana Baru inipun lebih dikenal dengan nama Nieuw Broesseol oleh orang Belanda.
Jika menelisik nama Sultan Yahya, maka dalam urutan Sultan Siak, Sultan Yahya adalah Sultan ke-enam yang memerintah tahun 1782-1784. Sedangkan dalam Syair Siak Sri Indrapura Dar As-Salam Al-Qiyam tertulis nama Tengku Akil sebagai anak ketiga dari Sultan Siak ke-empat yakni Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah (1776-1780). Tertulis pula Tengku Akil adalah adik daripada Tengku Muhammad Ali tertua Putra Mahkota Siak Sri Indrapura yang kemudian setelah dinobatkan menjadi Raja bergelar Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazzam Syah (1780-1782) atau Sultan Siak kelima.
Setelah masa Sultan Yahya, yang memerintah Siak adalah Dinasti Sayyid atau Ba’alawi, keturunan dari Sayyid Syarif Utsman yang menikah dengan Embun Badariah, Puteri dari Sultan Siak ke-empat yakni Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah, atau kakaknya dari Tengku Akil.
Dalam catatan orang Belitong, Tengku Akil awal mulanya bekerja untuk Inggris, kemudian bekerja untuk Belanda. Tahun 1813, Inggris oleh Sir Thomas Stamford Raffles memerintahkan Jendral Giullespie menguasai Palembang, terus Mayor W. Robinson meduduki Bangka kemudian mengutus Tengku Akil dari Siak guna menguasai Belitung. Tengku Akil mendapat perlawanan, dalam pertempuran itu Depati KA Hatam tewas dengan kepala terpotong atau terkerat.
Anak KA Hatam yang masih berusia muda, KA Rahad dan beberapa saudaranya yang lain berhasil diselamatkan sepupunya KA Luso. KA luso dan orang-orang berhasil mengusir Tengku Akil hingga Tengku Akil lari ke bersembunyi di Pulau Lepar dan kemudian tahun 1820 Tengku Akil menjadi kaki tangan Belanda di Bangka tapi mendapat perlawanan pula oleh Demang Singa Yuda dan Juragan Selan hingga perahu dan pasukannya ditenggelamkan.
Sedangkan dalam catatan sejarah kaum kerabat Kerajaan Kubu keturunan Alawiyyin ber-fam Alaydrus dan orang-orang Kubu pada umumnya, nama Tengku Akil juga dikenal karena pernah terjadinya konflik akibat suatu ekspedisi yang dipimpin Tengku Akil dari Siak, atas perintah dari Belanda. Akibat konflik ini, Yang Dipertuan Besar Kubu Syarif Idrus bin Abdurrahman Alaydrus menemui ajalnya pada tahun 1794 M, terbunuh ketika sedang shalat Subuh.

Konflik dengan rombongan Siak dibawah pimpinan Tengku Akil inilah konon yang membuat sumpah Raja Kubu yang menyatakan mengharamkan anak keturunannya menikah dengan orang-orang Siak.
Boleh jadi Tengku Akil yang berkelana menyerang Belitong, Bangka, berbuat huru hara di Negeri Kubu dan menjadi Raja di Negeri Sukadana adalah Tengku Akil yang sama, jika menilik tahun-tahun terjadinya penyerangan Belitong, Bangka dan pendudukan Sukadana.
Dan, yang memang perlu dikaji lagi, siapakah orang tua dari Tengku Akil yang selalu disebut Tengku Akil Siak ini?! Apakah Tengku Akil itu cucu Sultan Yahya atau anaknya Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah.
Yang pasti, di Sukadana terdapat banyak peninggalan dari trah Tengku Akil yang pernah memerintah Sukadana. Di Pulau Karimata, terdapat pula makam Tengku Abdul Jalil yang menjadi penguasa Karimata, yang juga kerabat dari Tengku Akil Siak ini.
Jadi, pengembaraan Tengku Akil ini memang bikin heboh negeri serantau…dari Sumatera dia tak boleh bertahta, maka didatanginya Belitong, Bangka, Kubu hingga Sukadana. Memanglah…terlepas dari pro dan kontra cerita Tengku Akil ini, sedianya ada pelajaran dari perjalanan sejarah serantau yang mesti dikaji dan menarik buat diceritakan.
Sumber :
JU. Lontaan, 1975, Sejarah, Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalbar.
Syair Siak Sri Indrapura Dar As-Salam Al-Qiyam, oleh SPN. Drs. Ahmad Darmawi, M.Ag.
Pulau Maya Karimata, oleh Rudy Handoko.

KERAJAAN TANJUNGPURA
Kerajaan Tanjungpura atau Tanjompura[1] merupakan kerajaan tertua diKalimantan Barat. Kerajaan yang terletak di Kabupaten Kayong Utara ini pada abad ke-14 menjadi bukti bahwa peradaban negeri Tanah Kayong sudah cukup maju pada masa lampau. Tanjungpura pernah menjadi provinsi Kerajaan Singhasari sebagaiBakulapura. Nama bakula berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti tumbuhantanjung (Mimusops elengi), sehingga setelah dimelayukan menjadi Tanjungpura.
Wilayah kekuasaan Tanjungpura membentang dari Tanjung Dato sampai Tanjung Sambar. Pulau Kalimantan kuno terbagi menjadi 3 wilayah kerajaan besar: Borneo (Brunei), Sukadana (Tanjungpura) dan Banjarmasin. Tanjung Dato adalah perbatasan wilayah mandala Borneo (Brunei) dengan wilayah mandala Sukadana (Tanjungpura), sedangkan Tanjung Sambar batas wilayah mandala Sukadana/Tanjungpura dengan wilayah mandala Banjarmasin (daerah Kotawaringin).[2][3]
Daerah aliran Sungai Jelai, di Kotawaringin di bawah kekuasaan Banjarmasin, sedangkan sungai Kendawangan di bawah kekuasaan Sukadana.[4] Perbatasan di pedalaman, perhuluan daerah aliran sungai Pinoh (Lawai) termasuk dalam wilayah Kerajaan Kotawaringin (bawahan Banjarmasin)[5]
Pada masa mahapatih Gajah Mada dan Hayam Wuruk seperti disebutkan dalamKakawin Nagarakretagama, negeri Tanjungpura menjadi ibukota bagi daerah-daerah yang diklaim sebagai taklukan Majapahit di nusa Tanjungnagara (Kalimantan). Majapahit mengklaim bekas daerah-daerah taklukan Sriwijaya di pulau Kalimantan dan sekitarnya.

Nama Tanjungpura seringkali dipakai untuk sebutan pulau Kalimantan di masa itu. Pendapat lain beranggapan Tanjungpura berada di Kalimantan Selatan sebagai pangkalan yang lebih strategis untuk menguasai wilayah yang lebih luas lagi. Menurut Pararaton, Bhre Tanjungpura adalah anak BhreTumapel II (abangnya Suhita). Bhre Tanjungpura bernama Manggalawardhani Dyah Suragharini yang berkuasa 1429-1464, dia menantu Bhre Tumapel III Kertawijaya.

Kemudian dalam Prasasti Trailokyapuri disebutkan Manggalawardhani Dyah Suragharini menjabat Bhre Daha VI (1464-1474). Di dalam mandala Majapahit, Ratu Majapahit merupakan prasada, sedangkan Mahapatih Gajahmada sebagai pranala, sedangkan Madura dan Tanjungpura sebagai ansa-nya.
Perpindahan ibukota kerajaan
Ibukota Kerajaan Tanjungpura beberapa kali mengalami perpindahan dari satu tempat ke tempat lainnya. Beberapa penyebab Kerajaan Tanjungpura berpindah ibukota adalah terutama karena serangan dari kawanan perompak (bajak laut) atau dikenal sebagaiLanon. Konon, di masa itu sepak-terjang gerombolan Lanon sangat kejam dan meresahkan penduduk.

Kerajaan Tanjungpura sering beralih pusat pemerintahan adalah demi mempertahankan diri karena sering mendapat serangan dari kerajaan lain. Kerap berpindah-pindahnya ibukota Kerajaan Tanjungpura dibuktikan dengan adanya situs sejarah yang ditemukan di bekas ibukota-ibukota kerajaan tersebut. Negeri Baru di Ketapang merupakan salah satu tempat yang pernah dijadikan pusat pemerintahan Kerajaan Tanjungpura. Dari Negeri Baru, ibukota Kerajaan Tanjungpura berpindah keSukadana.

Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Zainuddin (1665–1724), pusat istana bergeser lagi, kali ini ditempatkan di daerah Sungai Matan (Ansar Rahman, tt:110). Dari sinilah riwayat Kerajaan Matan dimulai. Seorang penulis Belanda menyebut wilayah itu sebagai Kerajaan Matan, kendati sesungguhnya nama kerajaan tersebut pada waktu itu masih bernama Kerajaan Tanjungpura (Mulia [ed.], 2007:5).

Pusat pemerintahan kerajaan ini kemudian berpindah lagi yakni pada 1637 di wilayah Indra Laya. Indra Laya adalah nama dari suatu tempat di tepian Sungai Puye, anak Sungai Pawan. Kerajaan Tanjungpura kembali beringsut ke Kartapura, kemudian ke Desa Tanjungpura, dan terakhir pindah lagi ke Muliakerta di mana Keraton Muhammad Saunan sekarang berdiri.
Perpindahan ibukota Kerajaan Sukadana
Menurut Catatan Gusti Iswadi, S.sos dalam buku Pesona Tanah Kayong, Kerajaan Tanjungpura dalam perspektif sejarah disebutkan, bahwa, dari negeri baru kerajaan Tanjungpura berpindah ke Sukadana sehingga disebut Kerajaan Sukadana, kemudian pindah lagi Ke Sungai Matan (sekarang Kec. Simpang Hilir). Dan semasa pemerintahanSultan Muhammad Zainuddin sekitar tahun 1637 pindah lagi ke Indra Laya sehingga disebut Kerajaan Indralaya.

Indra Laya adalah nama dari satu tempat di Sungai Puye anak Sungai Pawan Kecamatan Sandai. Kemudian disebut Kerajaan Kartapura karena pindah lagi ke Karta Pura di desa Tanah Merah, Kec. Nanga Tayap, kemudian baru ke Desa Tanjungpura sekarang (Kecamatan Muara Pawan) dan terakhir pindah lagi ke Muliakarta di Keraton Muhammad Saunan yang ada sekarang yang terakhir sebagai pusat pemerintahan swapraja.

Bukti adanya sisa kerajaan ini dapat dilihat dengan adanya makam tua di kota-kota tersebut, yang merupakan saksi bisu sisa kerajaan Tanjungpura dahulu. Untuk memelihara peninggalan ini pemerintah Kabupaten Ketapang telah mengadakan pemugaran dan pemeliharaan di tempat peninggalan kerajaan tersebut. Tujuannya agar genarasi muda dapat mempelajari kejayaan kerajaan tanjungpura di masa lampau.
Dalam melacak jejak raja-raja yang pernah memimpin Kerajaan Matan, patut diketahui pula silsilah raja-raja Kerajaan Tanjungpura karena kedua kerajaan ini sebenarnya masih dalam satu rangkaian riwayat panjang. Berhubung terdapat beberapa versi tentang sejarah dan silsilah raja-raja Tanjungpura beserta kerajaan-kerajaan lain yang masih satu rangkaian dengannya, maka berikut ini dipaparkan silsilahnya menurut salah satu versi, yaitu berdasarkan buku Sekilas Menapak Langkah Kerajaan Tanjungpura(2007) suntingan Drs. H. Gusti Mhd. Mulia:

Kerajaan Tanjungpura
  1. Brawijaya (1454–1472)[6]
  2. Bapurung (1472–1487)[7]
  3. Panembahan Karang Tanjung (1487–1504)
Pada masa pemerintahan Panembahan Karang Tanjung, pusat Kerajaan Tanjungpura yang semula berada di Negeri Baru dipindahkan ke Sukadana, dengan demikian nama kerajaannya pun berubah menjadi Kerajaan Sukadana.

Kerajaan Sukadana

Peta yang dibuat oleh Oliver van Noord tahun 1600, menggambarkan lokasi Succadano, Tamanpure, Cota Matan, dan Loue[8]
  1. Panembahan Karang Tanjung (1487–1504)
  2. Gusti Syamsudin atau Pundong Asap atau Panembahan Sang Ratu Agung (1504–1518)
  3. Gusti Abdul Wahab atau Panembahan Bendala (1518–1533)
  4. Panembahan Pangeran Anom (1526–1533)
  5. Panembahan Baroh (1533–1590)
  6. Gusti Aliuddin atau Giri Kesuma atau Panembahan Sorgi (1590–1604)
  7. Ratu Mas Jaintan (1604?1622)
  8. Gusti Kesuma Matan atau Giri Mustika atau Sultan Muhammad Syaifuddin (1622–1665)
Inilah raja terakhir Kerajaan Sukadana sekaligus raja pertama dari Kerajaan Tanjungpura yang bergelar Sultan.
Kerajaan Matan
  1. Gusti Jakar Kencana atau Sultan Muhammad Zainuddin (1665–1724)
  2. Gusti Kesuma Bandan atau Sultan Muhammad Muazzuddin (1724–1738)
  3. Gusti Bendung atau Pangeran Ratu Agung atau Sultan Muhammad Tajuddin (1738–1749)
  4. Gusti Kencuran atau Sultan Ahmad Kamaluddin (1749–1762)
  5. Gusti Asma atau Sultan Muhammad Jamaluddin (1762–1819)
Gusti Asma adalah raja terakhir Kerajaan Matan dan pada masa pemerintahannya, pusat pemerintahan Kerajaan Matan dialihkan ke Simpang, dan nama kerajaannya pun berganti menjadi Kerajaan Simpang atau Kerajaan Simpang-Matan.
Kerajaan (penambahanschap) Simpang-Matan
  1. Gusti Asma atau Sultan Muhammad Jamaluddin (1762–1819). Anak Sultan Ahmad Kamaluddin
  2. Gusti Mahmud atau Panembahan Anom Suryaningrat (1819–1845). Menantu Sultan Ahmad Kamaluddin[9]
  3. Gusti Muhammad Roem atau Panembahan Anom Kesumaningrat (1845–1889). Anak Panembahan Anom Suryaningrat[9]
  4. Gusti Panji atau Panembahan Suryaningrat (1889–1920)
  5. Gusti Roem atau Panembahan Gusti Roem (1912–1942)
  6. Gusti Mesir atau Panembahan Gusti Mesir (1942–1943)
  7. Gusti Ibrahim (1945)
Gusti Mesir menjadi tawanan tentara Jepang yang berhasil merebut wilayah Indonesia dari Belanda pada 1942, karena itulah maka terjadi kekosongan pemerintahan di Kerajaan Simpang. Pada akhir masa pendudukan Jepang di Indonesia, sekira tahun 1945, diangkatlah Gusti Ibrahim, anak lelaki Gusti Mesir, sebagai raja. Namun, karena saat itu usia Gusti Ibrahim baru menginjak 14 tahun maka roda pemerintahan dijalankan oleh keluarga kerajaan yaitu Gusti Mahmud atau Mangkubumi yang memimpin Kerajaan Simpang hingga wafat pada 1952.
Kerajaan Kayong-Matan atau Kerajaan Tanjungpura II
  1. Gusti Irawan atau Sultan Mangkurat[10]
  2. Pangeran Agung
  3. Sultan Mangkurat Berputra
  4. Panembahan Anom Kesuma Negara atau Muhammad Zainuddin Mursal (1829-1833)[11]
  5. Pangeran Muhammad Sabran[12]
  6. Gusti Muhammad Saunan[13]
Menurut Staatsblad van Nederlandisch Indië tahun 1849, wilayah kerajaan-kerajaan ini termasuk dalam wester-afdeeling berdasarkan Bêsluit van den Minister van Staat, Gouverneur-Generaal van Nederlandsch-Indie, pada 27 Agustus 1849, No. 8[14] Meski terpecah-pecah menjadi beberapa kerajaan, namun kerajaan-kerajaan turunan Kerajaan Tanjungpura (Kerajaan Sukadana, Kerajaan Simpang-Matan, dan Kerajaan Kayong-Matan atau Kerajaan Tanjungpura II) masih tetap eksis dengan pemerintahannya masing-masing.

Silsilah raja-raja yang pernah berkuasa di Kerajaan Matan (dan sebelum berdirinya Kerajaan Matan) di atas adalah salah satu versi yang berhasil diperoleh. Terdapat versi lain yang juga menyebutkan silsilah raja-raja Matan yang diperoleh dari keluarga Kerajaan Matan sendiri dengan menghimpun data dari berbagai sumber (P.J. Veth, 1854; J.U. Lontaan, 1975; H. von Dewall, 1862; J.P.J. Barth, 1896; Silsilah Keluarga Kerajaan Matan-Tanjungpura; Silsilah Raja Melayu dan Bugis; Raja Ali Haji, Tufat al-Nafis; Harun Jelani, 2004; H.J. de Graaf, 2002; Gusti Kamboja, 2004), yakni sebagai berikut:
Kerajaan Tanjungpura
  1. Sang Maniaka atau Krysna Pandita (800 M–?)
  2. Hyang-Ta (900–977)
  3. Siak Bahulun (977–1025)[17]
  4. Rangga Sentap (1290–?)[18]
  5. Prabu Jaya/Brawijaya (1447-1461)[19]
  6. Raja Baparung, Pangeran Prabu (1461–1481)
  7. Karang Tunjung, Panembahan Pudong Prasap (1481–1501)
  8. Panembahan Kalahirang (1501–1512)[20]
  9. Panembahan Bandala (1512–1538); Anak Kalahirang
  10. Panembahan Anom (1538–1565); Saudara Panembahan Bandala
  11. Panembahan Dibarokh atau Sibiring Mambal (1565?1590)
Kerajaan Matan
  1. Giri Kusuma (1590–1608); Anak Panembahan Bandala
  2. Ratu Sukadana atau Putri Bunku/Ratu Mas Jaintan (1608–1622); Istri Giri Kusuma/Anak Ratu Prabu Landak
  3. Panembahan Ayer Mala (1622–1630); Anak Panembahan Bandala
  4. Sultan Muhammad Syafeiudin, Giri Mustaka, Panembahan Meliau atau Pangeran Iranata/Cakra (1630–1659); Anak/Menantu Giri Kusuma
  5. Sultan Muhammad Zainuddin/Pangeran Muda (1659–1725); Anak Sultan Muhammad Syaeiuddin
  6. Pangeran Agung (1710–1711); Perebutan kekuasaan
  7. pembagian kekuasaan, memimpin kerajaan di Tanah Merah
    1. Pangeran Agung Martadipura (1725–1730); Anak Sultan Muhammad Zainuddin, pembagian kekuasaan memimpin kerajaan di Tanah Merah
    2. Pangeran Mangkurat/Sultan Aliuddin Dinlaga (1728–1749); Anak Sultan Muhammad Zainuddin, pembagian kekuasaan di Sandai dan Tanah Merah
  8. pembagian kekuasaan, memimpin kerajaan di Simpang
    1. Pangeran Ratu Agung (1735–1740); Anak Sultan Muhammad Zainuddin, pembagian kekuasaan, memimpin kerajaan di Simpang
    2. Sultan Muazzidin Girilaya (1749–1762); Anak Pangeran Ratu Agung, memimpin kerajaan di Simpang
  9. Sultan Akhmad Kamaluddin/Panembahan Tiang Tiga (1762–1792); Anak Sultan Aliuddin Dinlaga
  10. Sultan Muhammad Jamaluddin, sebelumnya: Pangeran Ratu, sebelumnya: Gusti Arma (1792–1830); Anak Sultan Akhmad Kalamuddin[21]
  11. Pangeran Adi Mangkurat Iradilaga atau Panembahan Anom Kusuma Negara (1831–1843); Anak Pangeran Mangkurat
  12. Pangeran Cakra yang Tua atau Pangeran Jaya Anom (1843–1845); Sebagai pejabat perdana menteri, anak Pangeran Mangkurat
  13. Panembahan Gusti Muhammad Sabran (1845–1908); Anak Panembahan Anom Kusuma Negara
  14. Pangeran Laksamana Uti Muchsin (1908–1924); Anak Panembahan Gusti Muhammad Sabran
  15. Panembahan Gusti Muhammad Saunan atau Pangeran Mas (1924–1943); Anak Gusti Muhammad Busra
  16. Majelis Pemerintah Kerajaan Matan (1943–1948), terdiri dari Uti Halil (Pg. Mangku Negara), Uti Apilah (Pg. Adipati), Gusti Kencana (Pg. Anom Laksamana)
Penggunaan nama kerajaan
Saat ini nama kerajaan ini diabadikan sebagai nama universitas negeri di Kalimantan Barat yaitu Universitas Tanjungpura di Pontianak, dan juga digunakan oleh TNI Angkatan Darat sebagai nama Kodam di Kalimantan yaitu Kodam XII/Tanjungpura
Catatan kaki
3.                              ^ (Inggris)Malayan miscellanies (1820). Malayan miscellanies. hlm. 7. http://books.google.co.id/books?id=fBYIAAAAQAAJ&dq=Tanjong%20Dato%20Tanjong%20Sambar&pg=RA3-PA7#v=onepage&q=Tanjong%20Dato%20Tanjong%20Sambar&f=false.
4.                              ^ (Belanda) Hoëvell, Wolter Robert (1861). Tijdschrift voor Nederlandsch Indië. 52. Ter Lands-drukkerij. hlm. 220.http://books.google.co.id/books?id=PJMKAAAAYAAJ&dq=Iets%20Over%20De%20Munten%20Van%20Bandjarmasin%20En&pg=PA220#v=onepage&q=Iets%20Over%20De%20Munten%20Van%20Bandjarmasin%20En&f=false.
5.                              ^ (Belanda) Perhimpunan Ilmu Alam Indonesia, Madjalah ilmu alam untuk Indonesia (1856). Indonesian journal for natural science. 10-11.http://books.google.co.id/books?id=p64WAQAAIAAJ&dq=Kottawaringin&pg=RA1-PA286#v=onepage&q=Kottawaringin&f=false.
6.                              ^ (Belanda) Blume, Carl Ludwig (1843). De Indische Bij. 1. H.W. Hazenburg. hlm. 321. http://books.google.co.id/books?id=iAVXAAAAMAAJ&dq=pangeran%20moesa&pg=PA321#v=onepage&q=pangeran%20moesa&f=true.
7.                              ^ sejarah-puri-pemecutan.blogspot.com
8.                              ^ (Inggris)MacKinnon, Kathy (1996). The ecology of Kalimantan. Oxford University Press. ISBN 9780945971733.ISBn 0-945971-73-7
9.                              a b (Belanda) Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, Lembaga Kebudajaan Indonesia (1862). Tijdschrift voor Indische taal-, land-, en volkenkunde. 11. Lange & Co..http://books.google.co.id/books?id=A0pJAAAAMAAJ&dq=pangeran%20agoeng&pg=PA99#v=onepage&q=pangeran%20agoeng&f=false.
10.                          ^ Gusti Irawan merupakan putra kedua Sultan Muazuddin (Raja Kerajaan Matan) dan adik dari Sultan Muhammad Tajuddin yang melanjutkan tahta Sultan Muazuddin sebagai Raja Matan
11.                          ^ Panembahan Anom diberhentikan sebagai sultan sejak 1833 karena dianggap tidak loyal kepada Sultan Abdul Jalil Yang Dipertuan Syah Raja Negara Sukadana. Posisi kepemimpinan Kerajaan Kayong kemudian dialihkan kepada kakak Pangeran Anom yaitu Pangeran Cakra Negara yang berkuasa sebagai Panembahan Matan pada periode 1833?1835. Atas campur tangan Belanda, mulai tahun 1835 Pangeran Anom kembali didudukkan menjadi Panembahan Matan hingga tahun 1847.
12.                          ^ Muhammad Sabran adalah anak dari Panembahan Anom. Ketika diresmikan menjadi sultan dengan Surat Keputusan Gubernemen (Pemerintah Kolonial Hindia Belanda) No. 3 tertanggal 11 Maret 1847, Pangeran Muhammad Sabran masih berusia sangat muda sehingga dibentuklah sebuah presidium yang beranggotakan 5 orang menteri dan diketuai oleh Pangeran Mangkurat untuk menjalankan roda pemerintahan. Muhammad Sabran baru menjabat sebagai Panembahan Matan pada 1856. Pada masa pemerintahan Panembahan Muhammad Sabran, pusat kerajaan berpindah dari Tanjungpura ke Muliakerta, Ketapang, Kalimantan Barat. Panembahan Sabran memerintah hingga tahun 1908. Setahun kemudian, pada 1909, Panembahan Sabran meninggal dunia.
13.                          ^ Muhammad Saunan merupakan cucu dari Panembahan Sabran yang dinobatkan sebagai pewaris tahta kerajaan karena sang putra mahkota, anak pertama Panembahan Sabran yang bernama Pangeran Ratu Gusti Muhammad Busra, wafat terlebih dulu dari ayahnya. Ketika dilantik sebagai pemimpin kerajaan pada 1909, Gusti Muhammad Saunan (putra pertama Gusti Muhammad Busra) masih belum cukup dewasa, maka kendali pemerintahan dipegang oleh Uti Muchsin Pangeran Laksamana Anom Kesuma Negara (paman Gusti Muhammad Saunan/adik Gusti Muhammad Busra). Gusti Muhammad Saunan resmi menjabat sebagai Panembahan Matan pada 1922 dan meninggal dunia pada era pendudukan Jepang di Indonesia yaitu tahun 1942.
14.                          ^ (Belanda) Staatsblad van Nederlandisch Indië, s.n., 1849
15.                          ^ Menurut Bustan Arifin Al Salatin, Sejarah Nasional, Sejarah Melayu, Pengaruh Syailendra dan Sriwijaya (850-900)
16.                          ^ Menurut kronik Cina, Pengaruh Sriwijaya Periode Kerajaan Kalingga (India Selatan)
17.                          ^ Menurut Sejarah Kalimantan Barat/Cerita Lisan Periode serangan Kerajaan Cola (India Selatan) ke Sriwijaya
18.                          ^ Taklukan Singhasari, Ekspedisi Pamalayu Periode Singhasari (1222–1293)
19.                          ^ Taklukan Majapahit, menurut Negarakertagama, menurut Prasasti Waringin Pitu (1447)
20.                          ^ Kerajaan pindah ke Sukadana, politik ekspansi sampai Tanjung Datuk, Tanjung Putting, Karimata, dan Pulau Tujuh
21.                          ^ (Belanda) Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, Lembaga Kebudajaan Indonesia (1862). Tijdschrift voor Indische taal-, land-, en volkenkunde. 11. Lange & Co.. hlm. 49.http://books.google.co.id/books?id=A0pJAAAAMAAJ&dq=pangeran%20agoeng&pg=PA49#v=onepage&q=pangeran%20agoeng&f=false.
Sumber
·         Belanda di Sukadana
·         Belanda di Sukadana

Masuknya bangsa Belanda ke Sukadana diperkirakan pada tahun 1617 dijaman Gubernur Jendral VOC Jan Pietersz Coen. Peninggalan yang ada masih dapat ditemui di daerah Sukadana yang kini menjadi Ibu Kota Kayong Utara antara lain tempat pemandian, tangsi tawanan perang yang tidak jauh dari pantai, kantor pemerintahan Belanda di daerah tanah merah dan Tungku tempat pengolahan Garam berlokasi di pelabuhan lama Sukadana. Kota yang kini menjadi pusat perhatian pemerintah terdiri dari berbagai suku yang ada antara lain suku Bugis yang tersebar diwilayah tersebut.

Masuknya Bugis di Kalimantan Barat yang tercatat di dalam “Situs Javascript:history” tercatata pada tahun 1710 dengan kedatangan Daeng Mataku yang menikah dengan Ratu Malaya, salah seorang anak Pangeran Agung dari Sukadana. Dalam sejarahnya bahwa Daeng Mataku pernah membantu penyerangan Istana Sultan Zainudin pada tahun 1710 untuk membantu memperkuat legitimasi kekuasaan Sultan Agung dan diangkat menjadi panglima kerajaan.

Sultan Zainudin meminta bantuan dengan Opu Daeng Manambun yang berasal dari kerajaan Luwuk dengan beberapa saudaranya, Opu Daeng Marewah, Opu Daeng Perani, Opu Daeng Celak dan Opu Daeng Kemasi. Kedatangan lima bersaudara Opu ke Sukadana menjadikan Daeng Mataku tidak dapat berbuat banyak, dan Daeng Mataku menghormati kedatangannya. Ketika kedatangan lima bersaudara di Matan dan diketahui oleh Daeng Mataku bahwa lima bersaudata tersebut masih kaum kerabatnya dari Sulawesi, Daeng Mataku memohon diri untuk pergi meninggalkan Matan menuju ke Siak Indrapura. Kepergian Daeng mataku ke Siak membawa sebuah meriam “Sigondah” yang ada di dalam perahu Daeng Opu Daeng Manambun, satu meriam di bawa Opu Daeng Manambun ketika kepindahannya ke Sebukit Mempawah, kini meriam tersebut dapat dilihat di Siak Indrapura dan di Mempawah Kalimantan Barat.

Bantuan yang diberikan lima bersaudara menjadikan Sultan Zainudin dapat menduduki tahta kembali dan Pangeran Agung ditempatkan di Darussalam Matan Atas jasa Opu Daeng Menambun maka dikawinkan dengan Puteri Kesumbah anak Sultan Zainudin dan anugrahi dengan gelar Mas Surya Negara. Daeng Mataku meningalkan keturunan di Ketapang yang tersebar di daerah Sukadana, Sungai Puteri,Satong,Siduk,Tanjung Gunung, Semanai,Melisum, Rantau Panjang dan Teluk Batang, Pangkalan Buton yang diperkirakan tempat persinggahan pertama orang Bugis, di Pontianak di daerah Segedong, Teluk Pakedai, Batu Ampar,Sungai Kakap, kawasan Pontianak pada umumnya Daerah-daerah tersebut masih dapat kita jumpai beberapa keturunan yang masih kuat membawa adat istiadat Bugis. Suku Bugis sudah tersebar dibeberapa wilayah Kalimantan Barat maupun Indonesia pada umumnya.
·         Diposkan oleh M.Natsir,Sos.M.Si di 17:56 
·         100 Tahun Pemerintahan Lanun Tionghoa di Sukadana
·         Posted on December 19 2010 by Pontianak Post
·         
·         Misteri yang Belum Terpecahkan
·         Peneliti sejarah sedang berada di kompleks kuburan Tionghoa di lereng Gunung Palung Sukadana.
·         SukadanaData yang terhimpun ini dikutip dari buku-buku kolonial Eropa (lebih banyak versi Portugis, Spanyol, Belanda, Inggris,) Tiongkok kuno, dan Jepang kuno. Orang Lanun (Ilanun atau Iranun) adalah suku bangsa yang berasal dari wilayah Filipina Selatan.
·         Suku bangsa Lanun terkenal sebagai bajak laut yang ditakuti di perairan Asia Tenggara pada abad ke-17 hingga 19. Orang Lanun seasal dengan suku Maranau yang bertempat tinggal di tengah pulau Mindanao (Filipina Selatan).
·         Kata Lanun berasal dari bahasa Mangindao, I-lanao-en, yang berarti “orang danau”, yaitu danau Lanao yang berada di tengah pulau Mindanao. Dalam bahasa Indonesia-Malaysia kata lanun menjadi sinonim dengan bajak laut, tanpa menghubungkannya kembali dengan suku bangsa Lanun.
·         Di Indonesia termasyhur Suku Laut atau sering juga disebut Orang Laut adalah suku bangsa yang menghuni Kepulauan Riau. Secara lebih luas istilah Orang Laut mencakup “berbagai suku dan kelompok yang bermukim di pulau-pulau dan muara sungai di Kepulauan Riau-Lingga, Pulau Tujuh, Kepulauan Batam, dan pesisir dan pulau-pulau di lepas pantai Sumatera Timur dan Semenanjung Malaya bagian selatan.
·         Secara historis, Orang Laut dulunya adalah perompak, namun berperan penting dalam Kerajaan Sriwijaya, Imperium Majapahit, Kesultanan Malaka dan Kesultanan Johor. Mereka menjaga selat-selat, mengusir bajak laut, memandu para pedagang ke pelabuhan kerajaan-kerajaan itu, dan mempertahankan hegemoni mereka di daerah itu.
Bahasa Orang Laut memiliki kemiripan dengan Bahasa Melayu dan digolongkan sebagai Bahasa Melayu Lokal. Saat ini mereka umumnya bekerja sebagai nelayan. Seperti suku Bajau Orang Laut kadang-kadang dijuluki sebagai “kelana laut” karena mereka hidup berpindah-pindah di atas perahu.
·         Pada abad ke-18 peranan Orang Laut sebagai penjaga Selat Malaka untuk Kesultanan Johor-Riau pelan-pelan digantikan oleh suku Bugis.
·         Orang lanun mendapat kehormatan di Filipina Selatan, sehingga berdirilah Kesultanan Sulu adalah sebuah pemerintahan Muslim yang pernah suatu masa dahulu menguasai Laut Sulu di Filipina Selatan.
Sekitar era 1450-an, seorang Arab dari Johor yaitu Shari’ful Hashem Syed Abu Bakr tiba di Sulu. Pada tahun 1457, ia mengakomodir kekuatan perantau laut dan mendirikan Kesultanan Sulu dan memakai gelar “Paduka Maulana Mahasari Sharif Sultan Hashem Abu Bakr”. Gelar “Paduka” adalah gelar setempat yang berarti tuan sedangkan “Mahasari” bermaksud Yang Dipertuan.
·         Pada zaman kegemilangannya, negeri ini telah meluaskan perbatasannya dari Mindanao hingga negeri Sabah (Malaysia modern sekarang).
·         Dalam Kakawin Nagarakertagama, negeri Sulu disebut Solot, salah satu negeri di kepulauan Tanjungnagara (Kalimantan-Filipina) yaitu salah satu kawasan yang menjadi daerah pengaruh mandala kerajaan Majapahit di Nusantara. Negeri Sulu terletak di lepas pantai timur laut pulau Kalimantan.
·         Pada tahun 1703, Kesultanan Brunei menganugerahkan Sabah Timur (sekarang Malaysia) kepada Kesultanan Sulu atas bantuan mereka menumpas pemberontakkan di Brunei.
·         Pada tahun yang sama, Kesultanan Sulu menganugerahkan Pulau Palawan (sekarang Filipina) kepada Sultan Qudarat dari Kesultanan Maguindanao sebagai hadiah perkawinan Sultan Qudarat dengan puteri Sulu dan juga sebagai hadiah persekutuan Maguindanao dengan Sulu. Sultan Qudarat kemudian menyerahkan Palawan kepada Spanyol.
·         Kesultanan Maguindanao adalah sebuah pemerintahan Melayu Islam yang memerintah sebagian Mindanao di Filipina selatan. Pengaruh kesultanan ini berkembang dari semenanjung Zamboanga ke teluk Sarangani. Di masa keemasannya, kesultanan ini memerintah seluruh Mindanao dan juga pulau-pulau yang berdekatan.
·         Sebelumnya, Shariff Mohammed Kabungsuwan dari Johor memperkenalkan agama Islam di tanah ini pada abad ke-12. Ia kemudian menikah dengan puteri setempat dan mendirikan Kesultanan Maguindanao dimulai sekitar tahun 1203 hingga 1205. Kesultanan ini pada mulanya beribukota di kawasan Cotabato. Kesultanan ini jatuh ke tangan Kerajaan Spanyol dan akhirnya menjadi sebagian dari Filipina.
·         Sebenarnya, perompakan sudah lama berlangsung di perairan Asia Tenggara. Selama abad ke-19 Selat Malaka telah lama menjadi jalur laut penting bagi kapal-kapal yang berlayar dari India dan dari Atas Angin ke Tiongkok.
·         Jadi perompak tradisional di Asia Tenggara adalah Orang Laut, atau disebut juga lanun. Mereka bermukim di perkampungan pesisir negara Malaysia, Indonesia, dan Filipina modern.
Bajak laut Tionghoa juga ditemukan dalam jumlah berarti, biasanya orang-orang terbuang dari masyarakat Tiongkok pada masa dinasti Qing (1644-1911 Masehi). Alasannya dinasti ini didirikan suku dari kawasan Manchuria (di atas Korea sampai Vladivostik Rusia modern sekarang), bukan suku Han, mayoritas warga Tiongkok.
Mereka menemukan relung dengan memangsa kapal-kapal yang berdagang di Laut Tiongkok Selatan dengan menggunakan Kapal Jung. Perompakan juga dapat dilihat sebagai bentuk peperangan yang dilakukan penduduk asli untuk melawan pengaruh Eropa, yang merusak tatanan tradisional masyarakat pedagang di Asia Tenggara.
·         Kenapa para perompak laut dari berbagai suku bangsa bisa bersatu di Asia Tenggara? Jawabannya melawan kemapanan yang dikuasai penguasa lokal maupun asing yang sering memperbudak nelayan-nelayan kecil.
·         Menurut catatan Belanda, sebelum menyerang kota Sukadana di awal abad 19 dari pangkalan angkatan laut Siak-Riau, menulis kalau selama seratus tahun terdapat pemerintahan lanun (tepatnya untuk kasus ini bajak laut) dari berbagai suku bangsa. Sukadana terlindungi oleh pemerintahan lanun lainnya di Pulau Maya dan Karimata.
Posisi Sukadana yang ada di antara Pontianak dan Ketapang, posisi strategis untuk mengganggu kapal-kapal perniagaan di pesisir Kalbar. Sehingga armada Belanda perlu menghancurkan pemerintahan lanun di Sukadana.
·         Kenapa terjadi kekosongan pemerintahan di Sukadana selama seratus tahun? Alasannya Kerajaan Tanjungpura sering berpindah-pindah tempat karena perang antarpewaris takhta dan gangguan lanun. Seringnya berpindah ibukota itu terjadi dimulai masa pemerintahan Sultan Muhammad Zainuddin.
·         Intelijen Belanda menemukan kasus, kalau bajak laut yang bermastautin (bermukim) itu bersuku Tionghoa perantauan, bahkan sampai pekerja-pekerjanya. Suku-suku lain, seperti suku Laut (Melayu kepaulauan), Bugis, dan lain-lain jumlahnya tidak sebanyak Tionghoa.
·         Sekitar 1822 armada Belanda berhasil menghancurkan 100 tahun lebih pemerintahan bajak laut di Sukadana, dan didirikanlah Kerajaan Sukadana yang bercorak Melayu. Ketika tentara Jepang menguasai ibukota Kerajaan Sukadana tahun 1942, penguasanya bernama Tengku Betung.
·         Misteri ini masih menyisakan tanda tanya dan memerlukan penelitian lebih lanjut. Catatan intelijen Belanda sebelum penyerangan Sukadana, menerangkan kalau pemerintahan bajak laut yang didominasi dari perantauan Tiongkok di Sukadana, mengangkat pemimpin karena kepandaiannya dan dipilih rakyatnya langsung bukan berdasarkan keturunan (dinasti).
·         Akan tetapi kalau meneliti jejak rekam warga perantauan Tionghoa di Sukadana (khususnya sebelum hari penyerangan Sukadana), sudah punah. Warga Tionghoa perantauan di Sukadana yang ada sekarang, sebagaimana penelitian di makam Tionghoa di lereng Gunung Palung, kebanyakan perantau di awal abad 20.
·         Kerajaan Tanjungpura
·        
Kerajaan Tanjungpura merupakan kerajaan tertua di Kalimantan Barat. Kerajaan yang terletak di Kabupaten Kayong Utara ini pada abad ke-14 menjadi bukti bahwa peradaban negeri Tanah Kayong sudah cukup maju pada masa lampau. Tanjungpura pernah menjadi provinsi Kerajaan Singhasari sebagai Bakulapura. Nama bakula berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti tumbuhan tanjung (Mimusops elengi), sehingga setelah dimelayukan menjadi Tanjungpura.

Wilayah kekuasaan Tanjungpura membentang dari Tanjung Dato sampai Tanjung Sambar. Pulau Kalimantan kuno terbagi menjadi 3 wilayah kerajaan besar: Brunei (Borneo), Sukadana (Tanjungpura) dan Banjarmasin. Tanjung Dato adalah perbatasan wilayah mandala Brunei dengan wilayah mandala Sukadana (Tanjungpura), sedangkan Tanjung Sambar batas wilayah mandala Sukadana/Tanjungpura dengan wilayah mandala Banjarmasin (daerah Kotawaringin).Perbatasan di pedalaman, daerah aliran sungai Pinoh (Kabupaten Melawi) termasuk dalam wilayah Kerajaan Kotawaringin (bawahan Banjarmasin)

Pada masa mahapatih Gajah Mada dan Hayam Wuruk seperti disebutkan dalam Kakimpoi Nagarakretagama, negeri Tanjungpura menjadi ibukota bagi daerah-daerah yang diklaim sebagai taklukan Majapahit di nusa Tanjungnagara (Kalimantan). Majapahit mengklaim bekas daerah-daerah taklukan Sriwijaya di pulau Kalimantan dan sekitarnya. Nama Tanjungpura seringkali dipakai untuk sebutan pulau Kalimantan di masa itu. Pada masa Brawijaya I ibukota pulau Tanjungpura berada di Kalimantan Selatan sebagai pangkalan yang lebih strategis untuk menguasai wilayah yang lebih luas lagi. Menurut Hikayat Banjar, kerajaan di Kalimantan Selatan saat itu yaitu Negara Dipa sudah memiliki pengaruh luas membentang dari Kerajaan Sambas, Sukadana (Tanjungpura) hingga Karasikan (Kepulauan Sulu) dengan rajanya seorang dara ketika ia mulai memerintah yaitu Putri Junjung Buih/Raden Galuh Ciptasari/Putri Ratna Janggala-Kadiri. Putri Junjung Buih (= Bhre Tanjungpura I 1429-1464?) digantikan oleh puteranya yang urutan ke-3 bernama Pangeran Aria Dewangsa (= Bhre Tanjungpura II 1464-1487?). Raden Sekar Sungsang(= Bhre Tanjungpura III 1487-xxxx?) putera dari Pangeran Aria Dewangsa, memindahkan ibukota ke hilir dengan nama Kerajaan Negara Daha. Menurut Tutur Candi (Hikayat Banjar versi II), ketika merantau ke Giri, Raden Sekar Sungsang mulai mengenal agama Islam dan menjadi besan Sunan Giri kemudian ia mendapat gelar Panji Agung Rama Nata. Menurut Pararaton, Bhre Tanjungpura adalah anak Bhre Tumapel II (abangnya Suhita). Bhre Tanjungpura bernama Manggalawardhani Dyah Suragharini yang berkuasa 1429-1464, dia menantu Bhre Tumapel III Kertawijaya. Kemudian dalam Prasasti Trailokyapuri disebutkan Manggalawardhani Dyah Suragharini menjabat Bhre Daha VI (1464-1474). Di dalam mandala Majapahit, Ratu Majapahit merupakan prasada, sedangkan Mahapatih Gajahmada sebagai pranala, sedangkan Madura dan Tanjungpura sebagai ansa-nya.

Perpindahan ibukota kerajaan

Ibukota Kerajaan Tanjungpura beberapa kali mengalami perpindahan dari satu tempat ke tempat lainnya. Beberapa penyebab Kerajaan Tanjungpura berpindah ibukota adalah terutama karena serangan dari kawanan perompak (bajak laut) atau dikenal sebagai Lanon. Konon, di masa itu sepak-terjang gerombolan Lanon sangat kejam dan meresahkan penduduk.

Kerajaan Tanjungpura sering beralih pusat pemerintahan adalah demi mempertahankan diri karena sering mendapat serangan dari kerajaan lain. Kerap berpindah-pindahnya ibukota Kerajaan Tanjungpura dibuktikan dengan adanya situs sejarah yang ditemukan di bekas ibukota-ibukota kerajaan tersebut. Negeri Baru di Ketapang merupakan salah satu tempat yang pernah dijadikan pusat pemerintahan Kerajaan Tanjungpura. Dari Negeri Baru, ibukota Kerajaan Tanjungpura berpindah ke Sukadana.

Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Zainuddin (1665–1724), pusat istana bergeser lagi, kali ini ditempatkan di daerah Sungai Matan (Ansar Rahman, tt:110). Dari sinilah riwayat Kerajaan Matan dimulai. Seorang penulis Belanda menyebut wilayah itu sebagai Kerajaan Matan, kendati sesungguhnya nama kerajaan tersebut pada waktu itu masih bernama Kerajaan Tanjungpura (Mulia [ed.], 2007:5).


 Pusat pemerintahan kerajaan ini kemudian berpindah lagi yakni pada 1637 di wilayah Indra Laya. Indra Laya adalah nama dari suatu tempat di tepian Sungai Puye, anak Sungai Pawan. Kerajaan Tanjungpura kembali beringsut ke Kartapura, kemudian ke Desa Tanjungpura, dan terakhir pindah lagi ke Muliakerta di mana Keraton Muhammad Saunan sekarang berdiri.

Perpindahan ibukota Kerajaan Sukadana
Menurut Catatan Gusti Iswadi, S.sos dalam buku Pesona Tanah Kayong, Kerajaan Tanjungpura dalam perspektif sejarah disebutkan, bahwa, dari negeri baru kerajaan Tanjungpura berpindah ke Sukadana sehingga disebut Kerajaan Sukadana, kemudian pindah lagi Ke Sungai Matan (sekarang Kec. Simpang Hilir).

 Dan semasa pemerintahan Sultan Muhammad Zainuddin sekitar tahun 1637 pindah lagi ke Indra Laya sehingga disebut Kerajaan Indralaya. Indra Laya adalah nama dari satu tempat di Sungai Puye anak Sungai Pawan Kecamatan Sandai. Kemudian disebut Kerajaan Kartapura karena pindah lagi ke Karta Pura di desa Tanah Merah, Kec. Nanga Tayap, kemudian baru ke Desa Tanjungpura sekarang (Kecamatan Muara Pawan) dan terakhir pindah lagi ke Muliakarta di Keraton Muhammad Saunan yang ada sekarang yang terakhir sebagai pusat pemerintahan swapraja.

Bukti adanya sisa kerajaan ini dapat dilihat dengan adanya makam tua di kota-kota tersebut, yang merupakan saksi bisu sisa kerajaan Tanjungpura dahulu. Untuk memelihara peninggalan ini pemerintah Kabupaten Ketapang telah mengadakan pemugaran dan pemeliharaan di tempat peninggalan kerajaan tersebut. Tujuannya agar genarasi muda dapat mempelajari kejayaan kerajaan tanjungpura di masa lampau.

Negeri Baru di Ketapang merupakan salah satu tempat yang pernah dijadikan pusat pemerintahan Kerajaan Tanjungpura. Dari Negeri Baru, ibukota Kerajaan Tanjungpura berpindah ke Sukadana. Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Zainuddin (1665−1724), pusat istana bergeser lagi, kali ini ditempatkan di daerah Sungai Matan (Ansar Rahman, tt:110). Dari sinilah riwayat Kerajaan Matan dimulai.

Seorang penulis Belanda menyebut wilayah itu sebagai Kerajaan Matan, kendati sesungguhnya nama kerajaan tersebut pada waktu itu masih bernama Kerajaan Tanjungpura (Mulia [ed.], 2007:5). Pusat pemerintahan kerajaan ini kemudian berpindah lagi yakni pada 1637 di wilayah Indra Laya. Indra Laya adalah nama dari suatu tempat di tepian Sungai Puye, anak Sungai Pawan. Kerajaan Tanjungpura kembali beringsut ke Kartapura, kemudian ke Desa Tanjungpura, dan terakhir pindah lagi ke Muliakerta di mana Keraton Muhammad Saunan sekarang berdiri.

Nama Matan sendiri mulai digunakan pada era pemerintahan Sultan Muhammad Zainuddin yang merupakan raja pertama Kerajaan Matan. Sultan Muhammad Zainuddin, yang memiliki nama kecil Gusti Jakar Negara, adalah putra sulung dari Raja Sukadana yang terakhir, yaitu Gusti Kesuma Matan alias Gusti Mustika (1622—1665) yang juga memiliki dua anak lainnya, yakni Pangeran Agung dan Indra Mirupa atau Indra Kesuma. Gusti Mustika sendiri merupakan Raja Matan pertama yang menggunakan gelar sultan, gelar raja yang berciri Islam, dan menyandang gelar Sultan Muhammad Syaifuddin. Agama Islam sendiri sudah masuk ke Kalimantan sejak permulaan tahun 1550 yang dibawa kaum pedagang Arab dari Palembang.

Pada akhir pemerintahan Kerajaan Sukadana di bawah rezim Sultan Muhammad Syaifuddin, terjadi peperangan yang dikenal sebagai Perang Sanggau. Selain itu, pada 1622 Kerajaan Sukadana juga mendapat serangan dari Kerajaan Mataram Islam yang dipimpin oleh Sultan Agung. Tidak hanya itu, gangguan dari gerombolan bajak laut di sepanjang perairan pantai dan Selat Karimata pun semakin merajalela. Kekacauan demi kekacauan inilah yang kemudian berakibat pada runtuhnya Kerajaan Sukadana. Agar tetap bertahan, maka pusat Kerajaan Matan dipindahkan ke wilayah yang kemudian dikenal sebagai tempat berdirinya Kerajaan Matan di bawah pimpinan putra mahkota Gusti Jakar Negara atau Sultan Muhammad Zainuddin.

Pemerintahan perdana Kerajaan Matan pertama oleh Sultan Muhammad Zainuddin ternyata tidak berjalan mulus. Ancaman justru datang dari Pangeran Agung yang berambisi untuk menggulingkan tahta kakaknya. Untuk mengatasi ancaman perpecahan ini, Sultan Muhammad Zainuddin mendapat bantuan dari lima bersaudara asal Bugis yang datang dari Simpang ke Matan. Lima bersaudara yang terkenal dengan sebutan Daeng Menambun ini terdiri dari Opu Daeng Perani, Opu Daeng Manambon, Opu Daeng Naraweh, Opu Daeng Kemasih, dan Opu Daeng Calak (Mulia [ed.], 2007:18). Atas pertolongan dari Daeng Menambun bersaudara, selamatlah tahta Sultan Muhammad Zainuddin dengan berhasil ditangkapnya Pangeran Agung.

No comments:

Post a Comment